Kontroversi UU 32 Tentang Penyiaran,  Pengawasan vs Industri Media. 

Palu, GAMASIFM – Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan penyiaran yang sehat hanya bisa diwujudkan jika industrinya sehat. Bisnisnya harus berjalan baik dan berkualitas. Demikian yang terungkap saat berlangsung seminar utama pada rakornas KPI di swissbell hotel Palu. 

Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rudi mengatakan, terdapat 2.673 ijin yang sudah beroperasi.

“Sekitar 1.100 adalah izin siaran televisi, dan sekitar 1.600 izin radio, termasuk LPP dan LPK. Pemerintah sekarang ini memberlakukan moratorium izin baru, karena kita peduli dengan keberlangsungan industri penyiaran yang sudah ada. Pemerintah bertugas untuk membina supaya industrinya dapat berkelanjutan,” tambah Rudiantara. 

Rudiantara juga menambahkan, industri penyiaran sekarang sedang menuju ke arah digital, dan potensinya luar biasa besar.

“Nilainya sekitar 39,9 miliar US$ atau sekitar Rp500 triliun dalam 7 tahun ke depan. Selain itu akan terbuka lapangan pekerjaan baru, peningkatan pajak dari industri penyiaran digital. Ada kurang lebih 230 ribu lapangan kerja baru dari industri penyiaran digital ini,” katanya.

Sementara itu, pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie mengatakan, UU Penyiaran No 32 tahun 2002 itu lahir dengan penuh kontroversi.

“Ini adalah salah satu UU yang tidak diteken oleh Presiden pada waktu itu. Kenapa tidak diteken, sumber masalahnya ada pada ketidaksukaan industri penyiaran terhadap UU ini. UU itu itu memiliki kelemahan, di mana fungsi regulator yang seharusnya diemban oleh KPI, menjadi lemah,” ujar Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu. 

Jimly menambahkan bahwa sekarang ini, terdapat tiga pasar bebas yang sudah mendunia. Pertama bisnis pasar bebas. Di Indonesia, terdapat KPPU yang berfungsi mengendalikan pasar yang bebas tersebut.

“KPPU diperlukan oleh negara untuk mengendalikan bisnis pasar bebas,” katanya. 

Kedua, adalah politik pasar bebas. Mulai dari presiden sampai dengan kepala desa menjadi komoditas yang diperebutkan. “Artinya, jabatan politik itu diperebutkan. Itu perlu dikendalikan, sehingga KPU dan Bawaslu menjadi dibutuhkan,” papar Jimly.

Ketiga adalah media pasar bebas. Pasar itulah yang seharusnya dikendalikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia tersebut, kata dia harus diperkuat.

Dalam kesempatan yang sama, anggota DPR Asril Tanjung memperkuat pendapat tersebut.

“Di negara demokratis manapun, media penyiaran senantiasa diatur oleh hukum. Media penyiaran memiliki regulasi ketat dibandingkan media cetak. Namun regulasi tersebut juga diharapkan bersifat demokratis bagi setiap pemangku kepentingan,” tegasnya 

Di awal seminar, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Yuliandree Darwis menjelaskan bahwa perubahan teknologi dan komunikasi telah mengubah cara masyarakat mengonsumsi informasi, yang telah mengubah cara kehidupan berbangsa.

Penyiaran Indonesia masih meninggalkan pekerjaan rumah terkait revisi Undang-undang Penyiaran No 32 tahun 2002, status anggaran, dan sebagainya.

Di sisi lain, ujaran kebencian, siaran yang berorientasi rating menjadi dewa, juga masih menjadi pekerjaan rumah penyiaran kita.

“Kita tidak bisa menyalahkan industri. Juga tidak bisa saling menyalahkan, tetapi kita harus mencari solusi bersama,” papar Yuliandree. (*)

Citizen Reporter : Riswansyah Muchsin SH MH (Koordinator Bidang Kelembagaan KPID Sulsel).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *