Makassar (21/4/2018) Gamasifm – Di usia 7 tahun, kebanyakan anak-anak memilih bermain untuk mengisi waktu senggang. Lain halnya dengan Hairuddin, siswa SD Maccini 2 ini, dulu sepulangnya sekolah ia kerap memanggil teman sebayanya untuk diajari.
Di usia belia watak seorang guru telah hidup di dalam dirinya. Boy, begitu nama sapaan dari pria bernama lengkap Dr Hairuddin K SS SKM MKes ini. Menyulap ruang tamu rumahnya menjadi kelas belajar. Dia berperan sebagai guru, sedang temannya menjadi murid.
Bermodalkan sebuah papan tulis lengkap dengan kapur, Boy kecil nampak percaya diri memaparkan muatan pembelajaran. Dari Matematika hingga Mata Pelajaran yang akhirnya mengubah namanya dari Hairuddin menjadi Boy: Bahasa Inggris.
“Saya memang dari kecil suka mengajar, saya panggil anak-anak itu ke rumah untuk saya ajar, saya jadi guru-guru kecil namanya, waktu saya sekitar umur tujuh tahun, saya panggil anak usia 5 tahun, bahkan usia 9 tahun saya panggil juga,”ungkap Pak Boy mulai bercerita.
Waktu kecil, Hairuddin alias Pak Boy ini dinobatkan sebagai Anak Emas dari guru-gurunya, tak jarang berbagai prestasi pun ia raup. Karena berhasil meraih sebagai murid teladan, hal ini yang membuat sebagian teman kelasnya merasa iri dan tak sungkan-sungkan berniat untuk memukul dirinya.
“Sampai ada yang cemburu mau pukul saya karena dia merasa tersaingi. Saya selalu disayang sama guru, sedangkan yang bodoh itu tidak, akhirnya saya sempat mau dihadang tapi tidak jadi, karena saya lapor ke guru saya,” tuturnya.
Olokan dari teman sebayanya waktu SD tak membuatnya patah arang. Justru hal itu yang menjadi motivasi sekaligus pelecut semangat bagi dirinya. Tahun 1982, Boy berhasil lolos di sekolah favorit waktu itu, SMP 6 Makassar.
Sewaktu menempuh pendidikannya, Boy sekali lagi meraih ragam prestasi. Namun di dunia pergaulannya waktu itu, ia diolok-oloki sebagai ‘bencong’ lantaran tidak merokok. Akhirnya mungkin karena telah lelah menerima cibiran, Ia memutuskan menjadi perokok.
“Waktu SMP itu ada teman yang nakal itu, mereka juga kadang mengolok-oloki juga, kalau yang tidak merokok itu dikatakan bencong, jadi semua yang tidak merokok itu dikatakan bencong, sampai-sampai saya mencoba waktu itu, tapi pada akhirnya saya kembali lagi tidak merokok,”akunya.
Empat puluh tahun berlalu, Boy kini menjabat sebagai Wakil Ketua IV Bidang Humas di Stikes Mega Rezky. Di mata para mahasiswanya, Ia dikenal sebagai dosen yang tegas dan disiplin.
Sikap ini dilahirkan dari Ayahnya. Baginya, sosok Ayah adalah panutan. Ayahnya adalah seseorang yang sangat memegang prinsip, ia adalah seorang yang teguh, dan tak ingin melihat dirinya hidup tanpa pendidikan.
“Prinsipnya teguh, anaknya dia tidak mau lihat tidak berhasil. Anaknya tidak mau dia lihat menjadi anak nakal, walaupun ayah saya pegawai kecil-kecilan, tapi berupaya menguliahkan saya untuk masa depan,” kenangnya.
Sebelum menempuh pendidikan tinggi, Hairuddin dibenturkan oleh dua pilihan, setelah tamat dari SMEA Negeri 1 Andi Mengerangi Makassar, ia harus memilih untuk tetap berkuliah atau langsung bekerja.
Beruntung, sosok Ayah kembali hadir dan memberikannya motivasi. Ia berpikir jika sebagai pegawai dengan hanya lulusan Sekolah Menengah, itu tidak dapat menjamin dirinya di hari akan datang, akhirnya ia memilih untuk melanjutkan kuliah.
Saat berkuliah di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, jurusan Bahasa Indonesia, ia sangat akrab dengan dosen-dosen. Akibatnya, setelah lulus dari Unhas, Boy diajak untuk mengajar mata kuliah Bahasa Sansakerta, di Fakultas Sastra jurusan Sejarah dan Arkeologi (sebelum menjadi Fakultas Sastra dan Budaya). Tak hanya mengajar di Unhas kala itu, ia juga mengajar di Stikes Yapma bersama dengan Pembina Yayasan Stikes Mega Rezky, H. Alimuddin, SH, MH, M.Kn.
Seperti puluhan tahun yang lalu, Boy telah tumbuh besar menjadi seorang dosen yang memiliki ambisi sebagai pengajar. Seorang pendidik yang memiliki cita untuk menciptakan lingkungan yang sehat bagi masyarakat melalui pendidikan.
Walau tak memiliki buah hati, ambisi Ayahnya yang telah turun temurun tak ia punahkan. Semangatnya yang teguh, ia salurkan terhadap keponakannya yang ia bimbing.
“Semua keponakan saya yang tinggal dirumah, saya tetap berprinsip keras waktu itu. Akhirnya mereka berhasil, ada yang sudah jadi perawat, sudah jadi dosen, ada yang sudah jadi guru,” tuturnya.
“Prinsip saya ke ponakan saya itu adalah, kuliah itu utama dan kerja nomor dua. Kuliah selain membuka gerbang dunia, karena pintunya dunia itu bagi saya adalah ilmu,”tegas Hairuddin.
Baginya, dengan usianya di 47 tahun serta gelar akademik dipundaknya, Boy tak ingin hanya dirinya saja yang berpendidikan tinggi. Dia berupaya keras agar keponakannya turut mengenyam pendidikan yang jauh lebih tinggi dari dirinya.
“Karena saya tak punya anak, saya implementasikan diri saya ke keponakan-keponakan, agar mereka bersemangat melanjutkan kuliahnya, kalau perlu sampai S3,” tegasnya.
Pendidikan menurutnya hal yang abadi, sampai kapanpun ia akan terus berada dalam pendidikan dan tak akan lekang oleh waktu.
“Ibarat burung tanpa sayap, ia tidak bisa terbang kemana-mana, tidak bisa meraih cita-cita, seperti itulah orang yang tidak memiliki ambisi dan prinsip ini saya pegang hingga sekarang,” tutupnya.
Sayap menurut Boy, adalah Ilmu itu sendiri.(*)