Samarinda (27/10/2018) Gamasifm – Sepanjang pekan ini, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengadakan Muktamar IDI Ke-30 yang diadakan di Samarinda Convention Hall – Kalimantan Timur.
Melalui keterangan tertulisnya,
Muktamar IDI merupakan musyawarah nasional dokter Indonesia yang digelar tiap tiga tahun yang salah satunya untuk menentukan kebijakan strategis nasional. Tema Muktamar IDI Ke-30 tahun 2018 ini adalah ‘Transformasi Sistem Pelayanan kesehatan dan Sistem Pendidikan Kedokteran yang Komprehensif dan Multisektoral menuju Indonesia Sehat’
Salah satu yang menjadi fokus utama IDI selama 3 tahun kepemimpinan Ketua Umum PB IDI – Prof dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG(K) adalah mengenai permasalahan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS) yang telah memasuki tahun ke-5. Program kesehatan untuk masyarakat ini disambut baik oleh IDI. Bahkan IDI telah bersepakat sebelum pelaksanaan JKN di awal tahun 2014 bahwa JKN ini harus berjalan baik, dan target Universal Health Coverage (UHC) di awal tahun 2019 harus tercapai. Namun capaian UHC harusnya juga dibarengi dengan mutu dari manfaat pelayanan dan kecukupan biaya kesehatan. IDI tetap mengawal agar mutu pelayanan yang diwujudkan dalam penerapan standar pelayanan dan standar prosedur operasional harus secara optimal diterapkan.
Namun demikian, Ketua Umum PB IDI – Prof dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG(K) menegaskan bahwa perbaikan sistem jaminan Kesehatan harus dibarengi dengan perbaikan sistem Kesehatan nasional. Perbaikan sistem Kesehatan nasional tidak lepas dari perbaikan SDM Kesehatan dan fasilitas Kesehatan. Perbaikan sistem Kesehatan nasional tentunya harus diikuti pula oleh perbaikan pembiayaan kesehatan. Pembiayaan kuratif yang dibebankan dalam pembiayaan JKN harus ditopang dengan pembiayaan preventif dan promotif kesehatan. Amanah UU No.36 tahun 2009 mengenai minimal 5% dana Kesehatan dari APBN dan 10% dari APBD harus ditunaikan.
“Persoalan defisit dana JKN seharusnya jangan terjadi karena sangat berdampak kepada kualitas pelayanan kepada masyarakat. Selain kepada kualitas pelayanan, dampak dari terbatasnya dana JKN juga dirasakan pada ditunaikannya hak-hak dokter atas jasa medis. Belum diterimanya hak-hak tersebut selama beberapa waktu dan angkanya pun masih di bawah standar kepatutan bagi profesi yang mengemban tanggung jawab atas nyawa dan keselamatan pasien, tentunya secara manusiawi akan mempengaruhi sikap individual dokter. Namun fakta di lapangan memang para dokter masih bisa bersabar berbulan-bulan dengan kondisi di mana hak-haknya belum ditunaikan. Dugaan akan beban biaya yang disebabkan oleh tindakan medis yang tidak perlu harusnya dapat diselesaikan dengan mekanisme Audit Medis yang menjadi domain IDI bersama perhimpunan profesi. Atas dasar ini, IDI seharusnya dilibatkan lebih dalam (involved) dalam penjagaan mutu pelayanan, bukan hanya dilibatkan sebagai pelengkap instrumen program JKN,” kata prof. dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG(K).
Presiden RI Joko Widodo dalam sambutannya ketika meresmikan pembukaan Muktamar IDI Ke-30 dan Muktamar IIDI (Ikatan Istri Dokter Indonesia) ke-21 di Samarinda, mengatakan bahwa pemerintah tengah berupaya mencari solusi terbaik untuk mengatasi defisit anggaran yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Langkah pertama yang telah dilakukan pemerintah ialah mengalokasikan anggaran sebesar Rp4,9 triliun untuk menutup defisit BPJS Kesehatan.
Presiden juga menyebut sejumlah opsi yang mungkin saja bisa dipertimbangkan. Seperti misalnya efisiensi di tubuh BPJS Kesehatan itu sendiri, termasuk juga memperbaiki tata kelolanya. Selain itu, BPJS disebutnya juga dapat mengintensifkan penagihan bagi penunggak iuran yang saat ini dinilai masih kurang optimal.
“Yang masih tekor itu yang non-PBI (penerima bantuan iuran). Penagihan ini harusnya digencarkan, di sini ada tagihan-tagihan yang belum tertagih. Ini harusnya digencarkan yang iuran ini,” ucapnya. Presiden mengatakan bahwa dirinya telah meminta Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJSN) untuk melibatkan dan berkolaborasi dengan IDI dalam pembenahan JKN ini. Presiden juga akan turut berdiskusi dengan IDI dan pihak-pihak terkait lainnya.
“Mengenai BPJS, saya sudah tahu semuanya. Tapi nanti saya akan ajak bicara, ini masalah manajemen. Inilah yang perlu kita perbaiki,” ujarnya.
Acara Muktamar IDI Ke-30 kali ini dihadiri oleh 1.576 peserta yang terdiri dari 885 utusan IDI Cabang, 256 peninjau IDI Cabang, 180 peninjau IDI Wilayah, 126 peninjau perhimpunan, 48 peninjau kolegium, dan 81 peninjau dari pengurus PB IDI. Saat ini jumlah IDI Cabang seluruh Indonesia sebanyak 441 IDI Cabang, 32 IDI Wilayah, 89 Perhimpunan, dan 37 Kolegium. Total seluruh anggota IDI saat sebanyak 157.003 yang terdiri dari 127.707 dokter 29.296 dokter spesialis.
Keberadaan IDI sebagai organisasi profesi yang berbadan hukum perkumpulan diakui berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang kemudian diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 10/PUU-XV/2017. Keberadaan ini sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter telah sesuai dengan rekomendasi World Medical Association (WMA) yang menyarankan agar setiap negara memiliki satu National Medical Association (NMA). IDI sebagai satu-satunya NMA di Indonesia harus bersifat independen, sebagaimana bunyi Anggaran Dasar IDI dan resolusi WMA Counsil ke-189 pada tahun 2011 di Uruguay.(**)