Kekerasan Seksual Meningkat, koalisi NGO Sulsel Desak RUU-PKS Disahkan

GAMASI.COM, MAKASSAR – Data Tahunan 2019 dari Komnas Perempuan, pada tahun 2018 kasus kejahatan terhadap perempuan menunjukkan angka yang cukup tinggi, yakni 13.384.

Lusia Palulungan, Project Manager MAMPU-BAKTI dalam pertemuan dengan sejumlah Lembaga/NGO dan media menyebutkan, Pelaku tertinggi dari incest adalah ayah kandung dan paman.
“Kekerasan seksual tentu masalah serius di negeri ini dengan korban terbesar perempuan dan anak.”

Dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan tersebut mengemuka data yang masuk ke Komnas Perempuan dari 237 lembaga mitra pengada layanan, 71% kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah privat, dan 31%-nya berupa kekerasan seksual. Sementara itu, dari 26% kekerasan yang terjadi di ranah publik/komunitas, sebanyak 76% berbentuk kekerasan seksual.

Sementara perangkat hukum yang ada hanya dapat menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang konvensional. Aturan hukum nasional mengenai kekerasan seksual terdapat di beberapa instrumen yang mengatur pemerkosaan, pencabulan, perbuatan tidak menyenangkan (KUH Pidana), eksploitasi seksual (UU PKDRT/UU 23/2004), dan trafiking atau perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seksual (UU PTPPO/UU 21/2007).

Selain lima bentuk kekerasan seksual yang dikemukakan di atas yang diatur dalam hukum nasional, terdapat bentuk kekerasan seksual lain yang tidak diatur dalam hukum nasional. Berdasarkan data dari pengaduan yang dicatat oleh berbagai lembaga pemerhati dan peduli perempuan terdapat 12 bentuk kekerasan yang tidak diatur dalam hukum nasional, yaitu: Pelecehan seksual, Penyiksaan seksual, Perbudakan seksual, Intimidasi atau serangan bernuansa seksual, Kontrol seksual, Pemaksaan aborsi, Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, Pemaksaan perkawinan, Prostitusi paksa, Pemaksaan kehamilan, Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan dan kontrasepsi atau sterilisasi paksa.

“Kedua belas bentuk kekerasan seksual yang dikemukakan tersebut adalah fakta yang dialami oleh perempuan. Karena itu, harus diadopsi dan diatur dalam hukum nasional agar hukum dapat menjangkau pelaku. Kekosongan hukum menempatkan perempuan dan anak sebagai korban yang tidak terlindungi, sekaligus memberi ruang bagi pelaku dalam melakukan kejahatan seksual terhadap perempuan.”

Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah kejahatan terhadap perempaun yang paling buruk dan terus berlangsung. Kekerasan seksual terhadap perempuan, bukan hanya karena perempuan menyandung jenis kelamin sebagai perempuan, tetapi juga terkait dengan relasi gender perempuan dan laki-laki yang tidak lepas dari relasi kuasa.

Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk dari diskriminasi berbasis gender. Kekerasan seksual terjadi karena korbannya paling banyak adalah perempuan, anak, dan kelompok yang mempunyai peran, identitas dan ekspresi gender yang minoritas atau berbeda dari masyarakat kebanyakan. Kekerasan seksual seringkali dilekatkan pada penilaian tentang “jejak moralitas” perempuan yang menjadi korban. Mereka dituduh sebagai penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan seksual karena cara berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia berelasi sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena keberadaannya pada sebuah waktu atau lokasi tertentu. Bahkan, korban kerap dituduh membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika ia dianggap tidak berupaya untuk melawan pelaku, menempatkan dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun ditipu dengan iming-iming pelaku.

Kekerasan seksual mempunyai dampak berlapis yang dirasakan oleh korban maupun keluarganya. Dampak luar biasa pada psikis, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik dari korban maupun keluarga korban.

Kekerasan seksual bahkan berpotensi besar memberikan dampak kesehatan jangka panjang bahkan permanen pada korban baik dewasa maupun anak, antara lain korban tertular berbagai penyakit infeksi menular seksual (IMS) ringan hingga berat, penyakit seksual, bahkan infeksi organ seksual dan reproduksi pada beberapa jenis kekerasan seksual yang berat. Selain itu, akibat dari terbatasnya pemahaman tentang kekerasan seksual di masyarakat, seringkali korban dan keluarga dianggap sebagai pembawa aib dan sial bagi kampung atau daerahnya, sehingga rentan untuk mengalami pengusiran dan pengucilan di lingkungan dan keluarganya. Belum lagi jika korban masih menempuh pendidikan atau bekerja, tidak sedikit korban yang dikeluarkan dari sekolah atau tempat kerjanya, sehingga hak atas pendidikan maupun pekerjaan menjadi hilang. Dan yang paling berat dialami oleh korban adalah stigma atau label negatif yang disematkan pada dirinya karena kekerasan seksual yang dialaminya dan tidak diinginkannya tersebut.

Pemerkosaan terhadap perempuan tidak sekadar pemuasan syahwat seksual, tetapi juga untuk penghinaan, intimidasi, bahkan untuk tindakan rasialis kepada kelompok atau etnik tertentu. Kekerasan seksual selalu menjadi bagian dari konflik dan kerusuhan, karena kekerasan seksual digunakan untuk menghina, mengtimidasi, dan menjatuhkan mental lawan.

Kekerasan seksual tidak bisa hanya dilihat dari sudut kejahatan semata, tetapi perspektif yang lebih luas yang menjangkau sudut yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh perspektif dan aturan hukum konvesional. Hukum nasional sangat lambat mengadopsi dan mengatur hak asasi dan perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan seksual.

Dari hasil pertemuan yang dilaksanakan di Yayasan BAKTI makassar, senin (15/7/2019), sejumlah pihak mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.

Hal ini penting menurut Lusi,
dikarenakan Angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat, terjadi hambatan sosial, budaya, dan hukum dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, selain itu ada Kekosongan hukum sehingga tidak bisa memastikan pemenuhan hak-hak bagi perempuan korban kekerasan seksual, serta Tidak adanya sistem pemidanaan dan penindakan terhadap beberapa jenis kekerasan seksual selama ini.

“Hal yang perlu menjadi perhatian juga adalah UU atau peraturan yang ada selama ini lebih mengutamakan pemidanaan pelaku dan tidak mengatur jaminan perlindungan bagi korban kekerasan seksual serta penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini seringkali merugikan perempuan korban,” jelas Lusia. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *