Gamasifm, Maros – Riska, perempuan berusia 18 tahun, berasal dari dusun pakalu’ Kabupaten Maros, tidak pernah menyangka pernikahannya yang rencana digelar 28 Oktober tahun ini dengan sang pujaan hatinya, harus ditunda hingga 2 bulan kedepan, tepat usianya mencapai 19 tahun, padahal keluarga sudah menyiapkan segala keperluan untuk hajatan.
“Mappetuada (proses penentuan waktu nikah dan membawa uang belanja keperluan nikah) sudah dilakukan bulan juli lalu, tapi Kami tidak tau, saya pikir usiaku yang Desember 2022 nanti ini pas di 19 tahun ini tidak ada masalah untuk menikah, tapi ternyata sewaktu bapak urus kelengkapan surat, Tidak dibolehkan karena belum sampai 19 tahun,” jelasnya melalui sambungan telepon, Sabtu (8/10).
Menurut Riska yang baru menamatkan SMA-nya ini, beruntung pihak aparat desa dan KUA mau membantu memberikan pengertian ke pihak keluarga kedua belah pihak sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.
Riska, adalah salah satu dari sekian anak di Sulawesi Selatan yang hampir dinikahkan karena minimnya informasi batasan minimal usia menikah. Inilah, yang menjadikan angka Kasus pernikahan anak di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) terbilang masih tinggi dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPA-Dalduk KB) Provinsi Sulawesi Selatan mencatat, Pada 2021 saja, ada 3.713 peristiwa perkawinan anak di Sulsel. Dengan rincian, 3.183 perempuan dan 530 laki-laki. Tertinggi dipegang oleh Kabupaten Wajo dengan 707 peristiwa, masing-masing 624 perempuan dan 83 laki-laki.
Kemudian disusul Kabupaten Sidrap dengan 671 peristiwa masing-masing 584 perempuan dan 87 untuk laki-laki. Sementara di urutan ketiga adalah Kabupaten Soppeng dengan 327 peristiwa, 286 perempuan dan 41 laki-laki.
Beberapa wilayah lainnya angka perkawinan anaknya relatif mulai menurun. Salah satunya Kabupaten Maros. Data sebelumnya, Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), tahun 2018, kondisi pernikahan anak di Kabupaten Maros berada di urutan 12 dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Prevalensi perkawinan anak di atas angka nasional dan provinsi, yakni di angka 16,24 persen. Namun, kondisi tersebut berubah, Pada 2019 kondisi perkawinan anak di Kabupaten Maros menurun 3,84 persen.
Upaya menekan angka perkawinan anak di Kabupaten Maros telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik Pemerintah Kabupaten maupun Swasta. Kabupaten Maros pun sudah punya Perda Nomor 8 Tahun 2017 tentang kabupaten layak anak. Perda ini ini juga mengatur pencegahan dan perlindungan serta tidak membiarkan terjadinya perkawinan anak.
Di Maros sendiri, saat ini sudah ada enam desa yang sudah sah memiliki produk hukum Peraturan Desa (Perdes) mengenai pencegahan perkawinan anak. 6 Desa tersebut yakni, Desa Bonto tallasa, Desa Sambueja, Desa Majannang, Desa Marannu, Desa Pa’bentengang dan Desa Tukamasea.
Kepala Desa Sambueja, Darawati menegaskan pihaknya memiliki Komitmen kuat dalam pencegahan perkawinan Anak
“Perdes ini sebagai bentuk penolakan terhadap perkawinan anak, sanksi sosialnya adalah perangkat desa bersama tokoh masyarakat tidak akan menghadiri pernikahannya, “ jelas Darawati.
Dirinya adalah satu dari sedikit perempuan yang menjabat sebagai kepala desa. Sejak 2013 Darawati menjabat sebagai Kepala Desa Sambueja, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros. Dia menjadi salah satu kepala desa yang dapat diandalkan untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Darawati mempunyai pemahaman dan perspektif yang baik mengenai hak-hak perempuan dan anak. Keputusannya untuk mencalonkan diri dan terpilih menjadi kepala desa di masyarakat yang masih kental menganut budaya patriarki, tentu tidak mudah. Namun, keputusannya tersebut telah membuka jalan yang lebar untuk mendorong perubahan kebijakan yang memberi ruang bagi peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak.
“Saya memang berkomitmen menjadikan desa tempat saya mengabdi ini bebas perkawinan anak. Karena perkawinan anak menurut saya, sangat merugikan perempuan dan anak. terutama pada kesehatan ibu dan anak, putus sekolah, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, dan rendahnya sumber daya manusia. Perkawinan anak juga sangat merugikan perempuan dan anak, karena perempuan yang paling banyak dikawinkan pada usia anak. Perempuan yang masih berumur anak ini akan melahirkan anak.” Demikian menurut Darawati.
Sambueja Mencegah Perkawinan Anak
Sebagai perempuan, Darawati tentu menjadi saksi bagaimana sebagian orang tua menikahkan anaknya atas kemauan orang tua dan keluarga, bukan kemauan anak sendiri. Tentu ada kasus dimana perempuan dikawinkan pada usia anak karena sudah putus sekolah, atau tidak melanjutkan sekolah setelah tamat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Tentu ini juga tidak baik, karena perkawinan anak selalu atas kemauan orang tua dan perempuan yang dikawinkan terlalu muda, sehingga belum siap untuk hamil, belum siap sebagai istri dan ibu dari anak yang akan dilahirkan nanti.
“Saat ini di Desa Sambueja telah dikembangkan menjadi desa yang ramah terhadap perempuan dan anak, di antaranya dengan melakukan pencegahan perkawinan anak. Kami juga telah mempunyai Peraturan Desa tentang Pencegahan Perkawinan Anak. Perdes ini telah melewati prosedur pembentukan sesuai dengan aturan,” jelas Darawati.
Perdes ini mengatur beberapa hal untuk pencegahan perkawinan anak, yaitu: (1) orang tua atau wali wajib melaporkan untuk melibatkan pemerintah desa, dan atau kepala dusun, atau imam dusun dalam penerimaan lamaran dan pelaksanaan perkawinan paling lambat 1 minggu sebelum lamaran; (2) sanksi administrasi berupa tidak diberi izin untuk melakukan pesta perkawinan; dan (3) sanksi sosial dapat diterapkan berupa perkawinan tidak dihadiri oleh aparat pemerintah desa dan pegawai badan syara.
Aturan-aturan dan sanksi tersebut dimaksudkan untuk mencegah perkawinan anak. Menurut Darawati, para tokoh masyarakat dan tokoh agama akan dilibatkan untuk sosialisasi jika nanti Raperdes tersebut telah disahkan menjadi Perdes. Ini dilakukan agar masyarakat menjadi tahu bahwa perkawinan anak perlu dicegah untuk kepentingan perempuan dan untuk kepentingan anak. Karena masih masyarakat yang tidak paham bahwa perkawinan di usia anak sangat merugikan.
Darawati memilih pencegahan perkawinan anak sebagai salah satu inovasi di desanya karena berupaya untuk menekan dan mencegah perkawinan anak. Darawati berargumen, masyarakat akan berpikir jika hendak menikahkan anaknya yang masih berusia anak, jika terdapat aturan yang melarang, apalagi ditambah dengan pemberian sanksi. Namun, masyarakat harus diberi pemahaman bahwa pencegahan perkawinan anak itu untuk kepentingan yang lebih baik bagi anak bersangkutan.
Pemerintah Desa Sambueja telah siap mempunyai Perdes Pencegahan Perkawinan Anak. Perdes akan disosialisasikan kepada semua pihak yang dianggap bertanggung jawab dalam pencegahan perkawinan, yaitu orang tua/wali, anak, pemerintah desa, imam desa, tokoh masyarakat, dan lembaga adat. Sosialisasi kepada masyarakat juga terkait dengan dampak buruk perkawinan anak, sehingga perkawinan anak harus dicegah.
Darawati juga membentuk Kelompok Pengaduan di Desa yang akan menerima pengaduan terkait dengan pencegahan perkawinan anak. Kelompok Pengaduan ini juga akan dengan mudah dan cepat menerima informasi dari masyarakat untuk pencegahan perkawinan anak. Kelompok Pengaduan akan mendiskusikan dan merapatkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pencegahan perkawinan anak.
“Saya bersama-sama masyarakat berusaha untuk membangun desa. Di samping itu, kedekatan dengan masyarakat sangat penting, setiap ada kegiatan masyarakat, seperti perkawinan, saya akan berusaha untuk hadir. Saya juga mengupayakan hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga masyarakat merasa terbantu. Inilah sehingga masyarakat dan tokoh masyarakat laki-laki juga mendukung pembentukan Perda Pencegahan Perkawinan Anak.”
Darawati juga meminta kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk menyampaikan kepada masyarakat desa mengenai larangan perkawinan anak, dampak negatif perkawinan anak, dan pembentukan Perda Pencegahan Perkawinan Anak.
Kepala Desa Peduli Generasi
Darawati memilih pencegahan perkawinan anak sebagai salah satu program dan inovasi di desanya karena ingin menjadikan generasi di desanya lebih baik. “Dengan kesadaran sendiri, selaku kepala desa, saya merasa sangat bertanggung jawab akan perlunya pencegahan perkawinan anak, agar anak-anak di Desa Sambueja ke depan menjadi generasi yang lebih baik.”
Darawati mengharapkan dengan dukungan perangkat desa dan tokoh masyarakat, kegiatan pencegahan perkawinan anak dapat berdampak positif bagi keluarga dan anak. Inovasi ini mudah-mudahan dapat mewujudkan perlindungan anak, menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. (*)