Gamasi, Maros – Kabupaten Maros menjadi salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang terdampak perubahan iklim, terutama pada musim kemarau. Koordinator Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Sulsel, Syamsul Bahari, M.Si, menyebutkan wilayah ini kerap menghadapi kelangkaan air bersih di musim kering, sementara saat musim hujan justru berisiko banjir akibat curah hujan yang tinggi.
“Untuk periode saat ini kita masih berada pada musim peralihan. Puncak kemarau terjadi Agustus hingga September. Walaupun hujan sudah mulai turun, intensitasnya hanya 0 – 10 mm sehingga belum cukup untuk menutupi dampak kemarau yang panjang,” ujar Syamsul melalui sambungan telepon, Minggu (5/10/2025).
Ia menjelaskan, kondisi terparah terjadi di daerah pesisir dan wilayah karst seperti Bonto, Soreang, Maros. Akses air bersih di wilayah tersebut sangat sulit karena PDAM belum menjangkau daerah pesisir, sementara pengeboran sumur juga tidak efektif lantaran air yang muncul umumnya payau akibat kontur tanah bebatuan karst.
Menurut Syamsul, fenomena iklim global seperti El Nino maupun La Nina saat ini tidak terjadi. Namun, adanya siklon tropis di utara Indonesia, tepatnya di sekitar Filipina, memengaruhi pergerakan massa udara. “Awan-awan yang seharusnya membawa hujan ke wilayah Makassar, Maros, Barru, dan Pangkep tertarik ke utara sehingga hujan di Sulsel masih sangat terbatas,” jelasnya.
Ia memperkirakan awal musim hujan baru akan terjadi pada akhir Oktober 2025. “Mudah-mudahan dampaknya tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya,” pungkas Syamsul.(*)